Ayah mencintai kami, aku tahu itu, tapi caranya sering kali membuatku kehilangan sentuhan kasih yang lembut. Kata-kata tajam, omelan, dan caciannya adalah makanan sehari-hariku. Aku belajar menjadi tegar, tapi dalam hati kecilku, aku hanya ingin dipeluk dan diberi senyuman penuh kebanggaan. Banyak rintangan yang telah kulalui, dan masing-masing meninggalkan jejak yang tak mudah dihapus. Aku pernah membakar wajahku sendiri dengan bensin, mengalami kecelakaan yang hampir merenggut nyawaku, hingga tanganku terbelah dalam tragedi di laut yang membuatku hidup dengan cacat. Setiap luka menjadi saksi bagaimana aku tumbuh di tengah anggapan bahwa aku adalah anak tanpa harapan. "Dia hanya akan menjadi beban," begitu beberapa orang berbisik. Hinaan dan cacian itu menempel di hatiku seperti duri yang tak bisa kulepaskan. Namun, di tengah gelapnya duniaku, selalu ada satu cahaya yang tak pernah padam. Cahaya itu adalah Mama. Mama yang selalu hadir ketika aku merasa dunia menolakku. Mama yang tak pernah sekalipun mencaciku, meski aku merasa gagal. Ketika semua orang memandangku dengan tatapan sinis, Mama memandangku dengan penuh kasih, seolah ingin berkata, "Nak, kau lebih kuat dari yang mereka pikirkan."
Aku masih ingat pagi itu, saat uang sekolah harus segera dibayarkan. Mama hanya berkata, "Tunggu sejenak," sebelum melangkah keluar rumah. Aku tahu jika aku tidak membayar uang sekolah saat itu, aku tidak akan diizinkan mengikuti ujian. Namun, pagi itu aku pergi ke sekolah dengan perasaan campur aduk, berpikir bahwa Mama sengaja tak peduli kepadaku. Ketika bel sekolah berbunyi dan aku harus masuk kelas, seorang teman menepuk bahuku. "Ini titipan dari Mamamu," katanya sambil menyodorkan uang receh. Mataku berkaca-kaca melihat uang itu. Aku tahu, uang receh itu adalah hasil jerih payah Mama yang melangkah pagi-pagi sekali untuk berjualan demi memenuhi kebutuhanku. Air mataku mengalir, bukan karena malu, tetapi karena aku menyadari betapa besarnya pengorbanan Mama untukku. Mama adalah sosok yang rela berkorban apa saja demi kebahagiaanku. Ketika aku merasa tidak pantas mendapatkan apa pun, Mama tetap memberikan segalanya. Ia tidak pernah mengeluh, meski aku tahu hidup kami tidak mudah. Dari pagi hingga malam, ia bekerja keras, memastikan aku dan saudara-saudaraku mendapatkan yang terbaik, meski sering kali ia harus mengorbankan kebutuhannya sendiri.
Ketika aku mulai belajar menerima diriku, aku sadar bahwa semua kekuatan itu berasal dari Mama. Setiap doa yang ia bisikkan, setiap pelukan yang ia berikan, dan setiap senyum yang ia tunjukkan di tengah kesulitan adalah bahan bakar yang membuatku bertahan. Mama mengajarkanku bahwa cinta tidak membutuhkan alasan atau syarat. Cinta sejati adalah ketika seseorang tetap berada di sisimu, bahkan ketika dunia meninggalkanmu. Kini, ketika aku berdiri di sini, aku tahu aku adalah cerminan dari perjuangan Mama. Aku adalah hasil dari cintanya yang tanpa batas. Tangan ini mungkin cacat, tapi hatiku penuh dengan harapan yang Mama tanamkan. Aku adalah bukti bahwa kasih seorang ibu mampu mengubah anak yang dianggap tidak punya harapan menjadi seseorang yang berdiri teguh menghadapi dunia. Mama, terima kasih telah menjadi pelitaku di tengah gelap. Terima kasih telah percaya padaku ketika aku bahkan tidak percaya pada diriku sendiri. Aku berjanji, apa pun yang terjadi, aku akan terus melangkah dengan membawa namamu dalam setiap doa dan usahaku.
Kau adalah segalanya bagiku, dan tidak ada satu pun yang bisa menggantikan tempatmu di hatiku. Dengan cinta dan rindu yang tak pernah habis,
Anakmu yang selalu bersyukur memilikimu.