Pagi itu, pendingin ruangan di kantor mendadak mati. Ruangan manajer, yang biasanya sejuk, berubah menjadi sauna. Jose segera mencari solusi. Ia meminta salah satu stafnya membuka jendela untuk pertukaran udara sementara. Tak lama, ia juga berinisiatif mencari kipas angin dari ruangan lain. Bukan solusi terbaik, tapi setidaknya cukup membuat udara tak terlalu menyesakkan.
Ketika teknisi akhirnya datang dan memeriksa unit pendingin itu, satu kesimpulan pun diambil. "AC ini kotor sekali, harus segera dibersihkan. Terlebih ini tipe inverter, jika dibiarkan, bisa rusak total," ujar si teknisi.
Jose mengangguk. Ia tahu pekerjaan ini harus dilakukan, tetapi waktu adalah tantangan terbesar. Manajernya sedang mengikuti rapat daring, dan tidak mungkin perbaikan dilakukan saat itu. Sore pun bukan pilihan, sebab itu masih jam kerja dan manajernya sering kali pulang larut. Malam? Kantor ini berdampingan dengan apartemen, dan sudah ada kejadian sebelumnya di mana penghuni apartemen mengeluh soal kebisingan. Setelah mempertimbangkan semua hal, ia menyusun rencana terbaik: perbaikan akan dilakukan saat jam istirahat, pukul 12.00 hingga 14.00.
Ia lalu meminta sekretaris manajer untuk menyampaikan izin kepada atasannya. Namun, beberapa menit kemudian, jawaban yang didapatnya justru menghantamnya dengan keras.
“Bukan saya yang mengikuti jadwal mereka, tapi mereka yang mengikuti jadwal saya.”
Kata-kata itu tajam, menusuk seperti pisau yang menembus dinding-dinding kesabaran Jose. Ia menelan ludah, mencoba menahan gelombang emosi yang merayapi dadanya. Apakah selama ini dia dan timnya hanya dianggap sekadar pelayan? Apakah setiap usaha yang dilakukan untuk membuat lingkungan kerja tetap berjalan dianggap tak berharga?
Ia bukan orang yang mudah tersulut, tetapi kali ini, sesuatu di dalam dirinya meledak. Ia mendekat ke meja rekan-rekannya, suaranya sedikit bergetar, bukan karena takut, melainkan karena kecewa. "Apakah kita ini hanya babu? Apakah kerja keras kita tak ada harganya?"
Tak ada yang menjawab, tetapi tatapan mereka cukup berbicara. Mereka juga merasakan hal yang sama. Beberapa menghela napas, beberapa menatap kosong ke layar komputer, mencoba mengalihkan rasa tidak nyaman yang menggumpal di ruangan itu.
Tapi Jose belum selesai. Dadanya masih terbakar. Ia menggenggam meja erat, seakan hendak menyalurkan kemarahannya ke permukaan kayu dingin itu.
"Kenapa kita selalu dianggap lebih rendah? Kenapa kerja keras kita hanya menjadi bayang-bayang yang tak dihiraukan?"
Suasana ruangan semakin menegang. Beberapa orang menunduk, takut terlibat dalam percikan amarah yang memancar dari Jose. Tapi ia tak peduli lagi.
"Kita bukan mesin! Kita bukan benda mati yang bisa disuruh tanpa dipertimbangkan perasaannya!" suaranya bergetar. "Dan jika kita diam saja, kita akan terus diperlakukan seperti ini."
Mungkin pagi ini manajer sempat dimarahi top manajemen perusahaan terkait kinerja, atau ada hal lain yang membebani pikirannya. Tapi itu tidak seharusnya menjadi alasan untuk merendahkan orang lain.
Pelajaran dari Kisah Ini:
Kisah ini mengajarkan pentingnya komunikasi yang baik dalam lingkungan kerja. Seorang pemimpin seharusnya tidak hanya memberikan instruksi, tetapi juga memahami kondisi timnya. Keputusan yang diambil tanpa mempertimbangkan kesejahteraan bawahan hanya akan menciptakan ketidakpuasan dan perasaan tidak dihargai. Selain itu, cerita ini juga menekankan bahwa harga diri seseorang tidak boleh diinjak, dan setiap individu berhak untuk mendapatkan perlakuan yang adil serta dihargai atas kontribusinya. Konflik dalam dunia kerja memang tak bisa dihindari, tetapi cara menghadapinya akan menentukan apakah hubungan profesional dapat bertahan dengan baik atau justru semakin rapuh.