Translate This Blog - Raymond

Thursday, April 13, 2023

Surat untuk Rumah : “Rindu 792 Km”

 


Untuk rumahku yang jauh,

Apakah kalian masih seperti dulu? Apakah pintu kayu jati itu masih berderit setiap kali dibuka, atau kini kerutannya semakin bertambah, menyimpan lebih banyak cerita waktu? Apakah aroma masakan Mama masih memenuhi dapur di pagi hari, dengan wangi khas yang membawa kehangatan? Aku sering bertanya-tanya tentang kalian dari tempat yang tak pernah benar-benar terasa seperti rumah. Di sini, kesibukan menggantikan kehangatan, dan bukit-bukit yang menghijau menjadi latar belakang indah dari pelabuhan Labuan Bajo yang selalu sibuk. 

    Namun di hati kecilku, Nunhila-lah yang selalu menjadi tempatku kembali, dengan setiap kenangan yang tertinggal di sana. Aku di sini baik-baik saja, meski hati ini sering tidak tenang karena rindu yang tak terucapkan. Di sudut kamar kecil ini, aku memikirkan kenangan kita. Aku rindu bagaimana Bapa menyapa pagi dengan suara tegasnya, dan aku mencium pipi Mama dengan penuh cinta sebelum berangkat sekolah. Aku rindu Mama yang selalu bangun setiap subuh, mempersiapkan makanan dengan penuh kasih. Dulu, aku sering mengeluh tentang hal-hal kecil di rumah. Aku merasa rumah kita terlalu sederhana, terlalu jauh dari pusat kota. Tapi sekarang aku tahu, kesederhanaan itu adalah kemewahan yang tidak bisa aku temukan di tempat lain.

Kini, aku telah menjadi orang tua. Aku memiliki seorang anak yang setiap senyumnya mengingatkanku pada cinta yang Bapa dan Mama berikan padaku. Saat aku memandang wajahnya, aku sering teringat pada betapa besar kasih sayang kalian yang selalu melindungi dan mendukungku. Namun, menjadi orang tua juga membuatku semakin rindu kepada kalian. Aku ingin anakku mengenal Bapa dan Mama yang telah memberikan begitu banyak cinta dalam hidupku. Aku ingin menceritakan pada mereka tentang rumah sederhana di Nunhila yang penuh dengan kehangatan dan pelajaran berharga.

Di sini, di tengah Labuan Bajo yang dipenuhi keindahan alam dan birunya laut, hujan tak pernah terasa sama. Dulu, hujan berarti kita duduk bersama di ruang tamu, dengan segelas teh hangat dan cerita-cerita Bapa tentang masa mudanya. Sekarang, hujan hanya berarti tetesan air di jendela kamar kecilku, mengiringi langkah-langkah para wisatawan yang menikmati indahnya pulau. Tidak ada suara tawa Mama yang menghangatkan, tidak ada adik kecil yang mengajakku bercanda dengan gaya khasnya yang selalu membuat suasana rumah ramai. Semua terasa sunyi, meski aku berada di tengah pesona dunia. Hidup di perantauan mengajarkanku banyak hal. Aku belajar menjaga diri, menghargai waktu, dan merawat mimpi yang kalian titipkan padaku. Aku tahu, Bapa dan Mama pasti bangga melihatku berdiri di tempat ini, berjuang meraih apa yang pernah kita bicarakan di malam-malam panjang di teras rumah. Tapi di tengah semua pencapaian itu, ada ruang kosong di hatiku yang hanya bisa diisi oleh kalian. Aku rindu sepiring sayur jantung pisang buatan Mama, yang bahkan lebih hangat dari cuaca kota ini. Aku rindu pelukan Mama, yang mampu menghapus semua rasa lelah tanpa satu kata pun terucap. Bapa, Mama, aku tahu kalian tak pernah berhenti mendoakanku. Di setiap telepon, Mama selalu bertanya, "Sudah makan? Jangan lupa istirahat." Aku hanya bisa membalas dengan air mata yang kutahan, berharap kalian tidak mendengar keretakan suara di ujung kalimatku. Aku berdoa semoga kalian selalu sehat, agar aku bisa segera pulang dan memeluk kalian lagi. Aku ingin duduk di ruang keluarga kita, mendengar cerita Bapa yang selalu penuh pelajaran, atau membantu Mama di dapur, meski hasil masakanku tak pernah sebagus milik beliau.

Untuk rumahku yang jauh, terima kasih telah menjadi tempat terbaik dalam hidupku. Terima kasih telah menjadi tempat aku pulang, meski hanya dalam doa dan mimpi. Aku berjanji, ketika aku pulang nanti, aku akan membawa cerita-cerita baru yang bisa kita nikmati bersama. Hingga saat itu tiba, jagalah dirimu untukku, seperti aku selalu menjaga kenangan tentang kita.

Dengan cinta dan rindu yang tak pernah habis,
Anakmu di perantauan,

Wednesday, January 26, 2022

Ketika Dunia Berpaling

 





    Saat dunia berbalik dan bayanganku sendiri seolah menolakku, hanya engkau yang tetap berdiri di garis terdepan, Mama. Ketika semua suara berubah menjadi sunyi, dan langkah kakiku tak lagi memiliki tujuan, engkaulah yang memanggilku kembali dengan suaramu yang penuh cinta. Di matamu, aku selalu menjadi anak kecil yang kau peluk dengan hangat, meski dunia telah mencibir dan menjauhiku. Aku adalah anak laki-laki, terlahir sebagai anak tengah dari tiga bersaudara. Kakakku dan adikku adalah perempuan, dan sejak kecil, aku dibesarkan di bawah bayang-bayang didikan ayah yang keras dan tegas. 

    Ayah mencintai kami, aku tahu itu, tapi caranya sering kali membuatku kehilangan sentuhan kasih yang lembut. Kata-kata tajam, omelan, dan caciannya adalah makanan sehari-hariku. Aku belajar menjadi tegar, tapi dalam hati kecilku, aku hanya ingin dipeluk dan diberi senyuman penuh kebanggaan. Banyak rintangan yang telah kulalui, dan masing-masing meninggalkan jejak yang tak mudah dihapus. Aku pernah membakar wajahku sendiri dengan bensin, mengalami kecelakaan yang hampir merenggut nyawaku, hingga tanganku terbelah dalam tragedi di laut yang membuatku hidup dengan cacat. Setiap luka menjadi saksi bagaimana aku tumbuh di tengah anggapan bahwa aku adalah anak tanpa harapan. "Dia hanya akan menjadi beban," begitu beberapa orang berbisik. Hinaan dan cacian itu menempel di hatiku seperti duri yang tak bisa kulepaskan. Namun, di tengah gelapnya duniaku, selalu ada satu cahaya yang tak pernah padam. Cahaya itu adalah Mama. Mama yang selalu hadir ketika aku merasa dunia menolakku. Mama yang tak pernah sekalipun mencaciku, meski aku merasa gagal. Ketika semua orang memandangku dengan tatapan sinis, Mama memandangku dengan penuh kasih, seolah ingin berkata, "Nak, kau lebih kuat dari yang mereka pikirkan."

Aku masih ingat pagi itu, saat uang sekolah harus segera dibayarkan. Mama hanya berkata, "Tunggu sejenak," sebelum melangkah keluar rumah. Aku tahu jika aku tidak membayar uang sekolah saat itu, aku tidak akan diizinkan mengikuti ujian. Namun, pagi itu aku pergi ke sekolah dengan perasaan campur aduk, berpikir bahwa Mama sengaja tak peduli kepadaku. Ketika bel sekolah berbunyi dan aku harus masuk kelas, seorang teman menepuk bahuku. "Ini titipan dari Mamamu," katanya sambil menyodorkan uang receh. Mataku berkaca-kaca melihat uang itu. Aku tahu, uang receh itu adalah hasil jerih payah Mama yang melangkah pagi-pagi sekali untuk berjualan demi memenuhi kebutuhanku. Air mataku mengalir, bukan karena malu, tetapi karena aku menyadari betapa besarnya pengorbanan Mama untukku. Mama adalah sosok yang rela berkorban apa saja demi kebahagiaanku. Ketika aku merasa tidak pantas mendapatkan apa pun, Mama tetap memberikan segalanya. Ia tidak pernah mengeluh, meski aku tahu hidup kami tidak mudah. Dari pagi hingga malam, ia bekerja keras, memastikan aku dan saudara-saudaraku mendapatkan yang terbaik, meski sering kali ia harus mengorbankan kebutuhannya sendiri.

Ketika aku mulai belajar menerima diriku, aku sadar bahwa semua kekuatan itu berasal dari Mama. Setiap doa yang ia bisikkan, setiap pelukan yang ia berikan, dan setiap senyum yang ia tunjukkan di tengah kesulitan adalah bahan bakar yang membuatku bertahan. Mama mengajarkanku bahwa cinta tidak membutuhkan alasan atau syarat. Cinta sejati adalah ketika seseorang tetap berada di sisimu, bahkan ketika dunia meninggalkanmu. Kini, ketika aku berdiri di sini, aku tahu aku adalah cerminan dari perjuangan Mama. Aku adalah hasil dari cintanya yang tanpa batas. Tangan ini mungkin cacat, tapi hatiku penuh dengan harapan yang Mama tanamkan. Aku adalah bukti bahwa kasih seorang ibu mampu mengubah anak yang dianggap tidak punya harapan menjadi seseorang yang berdiri teguh menghadapi dunia. Mama, terima kasih telah menjadi pelitaku di tengah gelap. Terima kasih telah percaya padaku ketika aku bahkan tidak percaya pada diriku sendiri. Aku berjanji, apa pun yang terjadi, aku akan terus melangkah dengan membawa namamu dalam setiap doa dan usahaku.

Kau adalah segalanya bagiku, dan tidak ada satu pun yang bisa menggantikan tempatmu di hatiku. Dengan cinta dan rindu yang tak pernah habis,
Anakmu yang selalu bersyukur memilikimu. 

Wednesday, March 1, 2017





Hello..
Salam Semangat..


Kali ini just wanna share about how to Reffil Cartridge Canon 745 & Canon 746. Awalnya karena sering menggunakan Printer HP Laser Jet P1006 kali ini pindah ke Canon Pixma MG 2570. pernah menggunakan juga printer yang hampir sama tapi saya lupa typenya.

Yahhh.. langsung saja untuk pengisiannya silahkan liat gambar dibawah ini:



Cartridge 745 yang Hitam / black dapat disuntik pada lubang dibawah:
Sebenarya tahu darimana lubang itu? Awalnya lubangnya sudah ada dan tidak sebesar itu, hanya kecil saja, tapi berhubungan lubang kecil itu tidak bisa dimasukan jarum suntik untuk memasukan tinta jadi harus diperbesar lagi. 


Berikutnya Cartridge 746 yang warna.. cartridge ini punya 3 warna tinta yaitu Cyan, Magenta, dan Yelow. untuk posisi tintanya seperti gambar dibawah:


Nah silahkan lihat posisi warna tinta dan diisi.. oiya untuk warnanya jangan ketukar ya bakalan belibet bersihinnya.. Ada sedikit tips kemarin teman saya Vyan Davidzhon Kuu yang berugas melubangi cartridge (Jabatannya Assistant Analyst Ahli Melubangi) beliau menggunakan Clips kertas (Clip yang besi ya.. ) lalu dipanaskan dengan Lilin terus dilubangi.

Lumayanlah Post pertama setelah 26 September 2012. Lumanyan Lama Vakumnya dari dunia persilatan blogger, hampir 5 Tahun ...

Terimakasih..